Kamis, 25 Desember 2014

Belajar itu Nggak Cuma Buat Gayeng :D


Bismillahirrahmanirrahim ^^
Dua hari kemarin, kita sebut ia Jihad Jaringan :D
Kerennya anak IT udah nyaingin kerennya anak Busana, yang lembur gara-gara proyek.
*yippss yang ekspert mungkin bisa cepet noh. Nah yang newbie kaya kita-kita gini. butuh waktu plus-plus meennn (*itupun akhirnya belum jadi si proyek jihad itu >.<)
Tapi yaaa, pokoknya banyak ibroh yang bisa kita jadikan referensi perbaikan hidup.
Dari ukhuwah yang semakin erat sama temen-temen kelas, tambah ngerti sama kemandirian, tambah paham sama mantra man jadda wa jada, de el el sampe puncaknya adalah kata KEBERKAHAN.  Widihhh ada apa guys dengan keberkahan.
Proses kita yang abis-abisan itu, ternyata hasilnya tidak sesuai yang kita impikan (bahasanya -_-). Detik-detik menjelang penilaian, ternyata proyek yang diminta belum jadi, Oh Meenn… gimana cerita. Bahkan, nyeseknya tu pas sebelum penilaian udah ada yang beres, eh pas mau dinilaikan malah error.
Nah apa hubungannya dengan keberkahan?
Kita itu dengan mudahnya dapet nilai A, dengan mudahnya juga dapet pujian dosen karena point-point penilaian dari dosen terpenuhi, gimana caranya? Ya pastinya kalo kalo proyeknya jadi. Tapi kalo belum jadi? ya gampang aja tinggal ngopy yang udah jadi. *duh
Nah pelajarannya disini guys. Keberkahan. Jadi, tujuan kita belajar itu cuma buat gayeng-gayeng dengan mengejar nilai atau bener-bener pengen nyari keberkahannya? Maksudnya? Ya itu tadi, bisa saja orang yang kerjaannya di copy kurang ridho, walaupun ekspresinya oke-oke aja. Tapi kita nggak tau dong isi hatinya. Atau bisa saja Allah marah karena ketidakjujuran kita atau karena usaha nggak maksimal buat nyelesaiin.
“Emang kamu nggak pernah?” Aku? Ya pernah banget sih… Ini…Buat pelajaran kita bersama guys…Sayang kalo jalanin sesuatu yang nggak ada keberkahan di dalamnya.
Jadi intinya, bersyukurlah dengan semua yang telah kita miliki dan kita usahakan. Teruslah bergerak memperbaiki, Setuju?? ^^
Karena Allah Maha Melihat. Maha Penyayang ^^


25 Desember 2014 17:40
Islamic Center Seturan

Jumat, 12 Desember 2014

Kesia-sian



Kau bilang, hari ini tepat 1 tahun. Tepat satu tahun? Aku terdiam, berfikir.
Ahad. ikut ketempatnya yok”.
Otakku masih memproses. Tepat 1 tahun? Ke tempatnya? Aku masih mencoba menebak-nebak apa maksud dari ajakanmu.
Oh… Satu tahunnya dia, ziaroh? Ya, insyaallah aku ikut.” tanpa berfikir panjang, dan tanpa mempedulikan apa yang telah aku agendakan sebelumnya di hari Ahad esok, menurutku, ini bisa menjadi prioritas atas.
Tepat satu tahun. Ya, aku ingat. Ketika mataku sedang berpusat pada satu layar yang tanpa kusadari ia telah mencoba memotong setiap detik waktuku. Tiba-tiba kau datang, ucap salam, menatapku sebentar saja, dan bruukk kau langsung memelukku. Menangis. Saat itu, jantungku berdetak, rasanya baru pertama kali melihatmu menangis hay wanita yang berquote ‘Menjadi Akhwat Qowiy’. Aku tak banyak tanya. Karena ku tau kau hanya sedang butuh ketenangan. Walaupun rasa penasaranku membuncah, apa yang bisa membuatmu seperti ini.  Kau masih terus menangis dipelukanku. Dan akupun masih mencoba menenangkanmu. Akhirnya, dengan terisak kau mulai bicara. “Dia. Dia meninggal”, kau menyebut namanya, seorang lelaki, yang sungguh tak ku temukan banyak kesalahan-kesalahannya, seseorang yang berperangai bijak, menghargai semua orang dan sangat jarang terlihat lusuh karena murung, dia bersemangat dan totalitas. Dan itu terbukti dari semua postingan kawan-kawannya di media sosial, yang mengagumi kebaikannya dan rasa tak percaya telah kehilangan sosok sebaik dia. Mendengar kau sebut namanya, Deg. Akupun masih tak percaya, tetapi aku mencoba untuk tetap tenang, karena tak mungkin bisa menenangkanmu sementara aku sendiri kalut dalam kesedihan dan rasa tak percaya. Kau mencoba menceritakan kronologinya, dengan isak-isak tangismu, maafkan dear, lagi-lagi aku tak bisa berbuat apapun, hanya bisa menenangkan, tapi kurasa tindakan itu yang paling tepat ku lakukan kala itu. “Sekarang dia dimana?” aku bertanya, dan kaupun menjawab, segera aku bersiap untuk takziyah. Saat hendak bangkit dari tempat dudukku. Aku menoleh kebelakang, menatap pada layar yang masih terputar film action luar negeri itu, dadaku sesak, Oh Tuhaaann… Betapa lalainya diri ini. Aku lupa begitu mudahnya Kau hentikan kehidupan seseorang, aku lupa bahwa kematian bisa datang pada siapapun tanpa ada yang bisa merayu malaikat maut untuk menunda kematiannya. Mulai detik itu juga, aku bertekad untuk tidak lagi melakukan hal yang tak jelas, padahal aku tau film-film itu tidak meningkatkan kualitas imanku. Hanya hiburan tanpa tujuan mencari kesenangan di dunia yang memperdaya ini. Tertipu nafsu semata. Tak berfikir panjang dengan apa yang akan aku jawab ketika esok Engkau bertanya “kau gunakan untuk apa masa mudamu?” Oh Tuhannn… aku tak siap bila aku harus terdiam ketika esok Engkau bertanya, terdiam karena aku melakukan kesia-siaan di masa mudaku. Akupun mulai menuliskan kalimat ampuh ini didinding kamar.

            “Allah, apa yang sedang dan akan aku lakukan ini karena-Mu”

Mulai menghentikan segala aktivitas yang tak bernilai surga. Sampai sekarang, akupun masih belajar. Karena salah satu mimpiku, Kau jadikan hari terbaikku, hari disaat aku bertemu denganMu.


13 Desember 2014, 14:00
Kamar Cinta Multazam2

Sabtu, 29 November 2014

Tentangmu, Akhwat-akhwat Qowiy

Beruntung Aku Mengenalmu,


Pesan yang terkirim dari hati memang selalu membuat senang penerima pesan. Pengirim mungkin hanya menuliskan kalimat sederhana saja, seadanya namun tersampaikan dengan tulus. Hingga pembaca merasakan getaran-getaran kerinduan. Aku masih tersenyum saat membaca pesanmu, mba. Bersyukur mengenalmu dan mereka. ^^

Hari itu, senang rasanya mendapatkan saudara baru yang luar biasa. Bahkan, dalam beberapa hari saja, kita sudah saling mengenal, apalagi kalau bukan karena ruh-ruh yang diakrabkan oleh iman. Mereka adalah akhwat-akhwat qowiy yang bersedia meluangkan waktunya, yang orientasi setiap langkah hidupnya hanya untuk meraih ridho Allah dan terus bermanfaat untuk oranglain. Ia yang tak hanya memperdalam ilmu untuk diri sendiri saja, yang berupaya bagaimana saudara yang lain juga dapat semakin memahami islam. Berfikir untuk manusia lain karena sejatinya diri ini sudah bukan hanya milik diri saja, tetapi milik umat.
Aku sedikit merekam jejak-jejak mereka. Diam-diam ku perhatikan mereka satu persatu. Ada rasa kagum dan haru, betapa kerennya akhwat-akhwat ini. Ada yang sangat lembut, ada yang selalu semangat, ada yang cerdas dengan ide-idenya, ada yang selalu tersenyum, ada yang langsung tanggap menawarkan bantuan, ada yang tak perlu berpikir panjang saat dapat amanah yang mungkin tak semua orang berani mengambilnya. Ini akhwat ya? yups ada yang menangis juga tentunya. Melankolis memang. :D
Dan ternyata tak tanggung-tanggung, dari semua rekamanku tentang mereka, ada yang langsung mengungkapkan dengan bahasa ketenangannya tentang manisnya ukhuwah yang tumbuh beberapa hari itu, tentang karakter-karakter unik yang membuat tersenyum saat mengingatnya. Kita memang berbeda tapi saling mendukung, saling menguatkan.

Setiap syuro’, ditutup dengan doa. Doa nya pun nggak main-main, meluluhkan hati, membuat mata tak mampu lagi membendung airnya, menenangkan. Doa memang tak perlu cari-cari bahasa yang aneh-aneh, cukup menyebut Allah dengan Asmaul husnanya. Dan sampaikan dengan tulus dan terus menerus. Benar-benar meminta dari hati yang paling dalam, buat Allah yakin bahwa kita benar-benar meminta. Walaupun, Allah pasti tau apa yang kita minta, bahkan sebelum kata terucap. Ya, itulah salah satu bentuk ikhtiar kita untuk selalu mendekat pada Allah… Menjadikan Allah satu-satunya tempat meminta. (':

Muslimah Fest UNY 2014

29 November 2014
Kamar Cinta Multazam 2

Sabtu, 15 November 2014

Aku Mau Minta Maaf sama Ka Sinta



Cerita ini, tepat 1 minggu yang lalu (3 November 2014), jadwalku mengajar di TPA, Tempat Penitipan Anak? wiihh bukan bukan, itu Taman Pendidikan Al-Quran. Itu lho tempat anak-anak kecil ngaji. Wah rajin banget anak kecil ngaji, zaman sekarang kan anak-anak pegangannya udah gadget atau pulang sekolah main Play Station. Pasti anak-anak TPA itu nurut banget deh sama orangtuanya, beruntung sekali mereka yang masih mau nurut orangtuanya bakalan jadi keren deh gedenya insyaallah, dan bersyukur sekali orangtua bisa bujuk anaknya buat rajin berangkat TPA ditengah-tengah anak-anak lain yang kebanyakan telah dijajah oleh arus globalisasi khususnya kemajuan teknologi, yah mungkin beberapa dari kalian pasti ada yang berfikir seperti itu tentang anak-anak TPA.
Yuhuuu… Kita bahas TPA tempatku ngajar, yok.
Benarkah anak-anak itu nurut?
Minggu sebelumnya, aku pun mengajar TPA, berangkat dengan sedikit berat hati karena memang bukan jadwalku, hehe. Dan akupun pulang ke asrama karena ada hal yang harus aku garap. Tapi lagi-lagi, masihkah kita bisa menolak pahala kebaikan yang akan datang? Sayang lho. Oke aku putuskan untuk pergi mengajar karena memang hal yang akan ku kerjakan masih bisa ditempatkan dilain waktu, pikirku.
Di tempat TPA.
Baru datang, disalamin sama anak-anaknya, cium tangan. Beberapa saat kemudian… ‘Pertempuran’ awal dimulai. Riuh ricuh anak-anakpun hadir. Mulai dari yang susah disuruh masuk gara-gara keluar masjid saat TPA akan dimulai. Menyuruh turun seorang anak yang manjat (*menaiki) hijab penutup shof laki-laki dan perempuan, bahannya terbuat dari besi tinggi satu meter lebih dikit, ada juga yang duduk dimeja. OMG (>.<**)
TPA pun dibuka. Salam. Sikap berdoa. ‘tangan di tengadahkan, kepala ditundukkan, berdoa mulai’. Berdoa pun, ustadzah (sapaan hangat santri TPA pada guru ngajinya) harus tetep memperhatikan anak-anak, seringnya ada yang ngobrol waktu berdoa, ada juga yang mainan sendiri. Kalo udah gitu, ngapain? rangkul pundak si anak atau cukup dilihat saja, senyumin tuh anak, baru dituntun berdoa deh. Anak sebenernya nurut kok sama ustadzahnya.
            Selesai berdoa. Materi yang telah ku siapkan kali ini yaitu tentang CITA-CITA. Sebelumnya, anak-anak diberikan pertanyaan untuk menentukan urutan ke-berapa ia mengaji. Nah, setelah dapet urutannya, aku beri mereka kertas kecil. Aku biarkan mereka memilih warna yang mereka sukai. “bagi yang lagi nggak dapet giliran ngaji, tuliskan cita-cita kalian dikertas yang tadi sudah di ambil ya, terus gambarkan cita-cita kalian dibaliknya”. Mereka pun nurut, walau awalnya ada keluhan “aku nggak bisa gambar ustadzah” dan lain sebagainya, tapi akhirnya mereka mengerjakannya dengan senang sambil mikir-mikir apa yang akan digambar. Lucu. ^^ Nah, kenapa bahas tentang cita-cita? Anak-anak memang harus dibangun mimpi-mimpinya sejak dini, punya orientasi kedepan, sering-sering diingatkan tentang mimpi-mimpinya, bahkan bisa jadi bahan motivasi ketika sang anak mulai malas belajar. misalnya, “katanya mau jadi dokter, dokter itu harus pinter lhoo. Kalo nggak pinter nanti salah kasih resep ke pasien, eh pasiennya malah tambah parah kan bahaya, yang tadinya pengen bermanfaat buat oranglain tapi malah bikin tambah sakit. yok sekarang belajar”. Yaps, mengambil hati anak dengan berbagai cara, setidaknya membuat anak berhenti teriak-teriak gaduh di dalam masjid, itu target awal.
            Balik lagi ke hari senin tanggal 3 November, minggu lalu. Dengan segala ngotot-ngotot mereka, akhirnya aku mengalah. Mereka minta jalan-jalan, padahal baru jumat kemarin mereka jalan-jalan. Mereka menyebutkan satu persatu jadwal ekstrakulikulernya, yang akhirnya hanya hari senin yang kosong. Baiklah. Kami jalan-jalan.
Sebelum perjalanan, aku memperhatikan seorang anak, tak nampak seperti biasanya, hari itu, dia menjadi seorang pendiam. Padahal biasanya, dia sering ‘memberontak’. Tapi, ku biarkan dulu dia seperti itu. Perjalanan pun dimulai, di perjalanan ku ajak anak-anak muroja’ah, tepuk ala TPA dan ku ajarkan mereka tersenyum dan menyapa pada setiap orang yang lewat. Setelah perjalanan makin jauh, ku dekati anak yang tadi itu, namanya Mirna. Aku ajak ngborol-ngobrol dan akhirnya dia memberi statement yang menjawab pertanyaanku sejak tadi. “Ustadzah, aku pengen minta maaf sama ka Sinta.”, “emang Mirna salah apa?” tanyaku “eh, nggak jadi nggak jadi ustadzah.” Setelah kutanyai beberapa kali tapi tidak mau menjawab, akhirnya ku mengalah, tidak terlalu memaksanya menjawab.
Aku melirik tempat yang kira-kira bisa buat ngumpul anak-anak TPA ini. Akhirnya aku ajak mereka ditengah tanah lapang kecil yang rumput-rumputnya sudah lumayan banyak menyebar, “nggak mau ustadzah, disitu banyak uletnya.” Ku diamkan mereka yang memprotes, tempat kami berkumpul tetap disitu.
“Ayookk… apa saja yang sudah didapatkan selama perjalanan kita tadi, kita nggak kan yaa perjalannya terlewatkan sia-sia. Pokoknya masing-masing harus kasih satu hal yang telah didapatkan dari perjalanan tadi.”
Ku buka forum TPA ini dengan pertanyaan itu.
Setelah mereka semua menjawab, baru aku masuk ke pertanyaan utamanya.
“Nah sekarang, Siapa disini yang lagi nggak suka sama orang?”
“Saya ustadzah, sayaa… sayaa.” Hampir semuanya mengacungkan tangan dan menyebutkan aku nggak suka sama ini sama itu. Dan menceritakan orang-orangnya, ada temen SD dan yang lainnya, Sinta pun menjawab “saya juga ada ustadzah.” Ini yang paling ditunggu-tunggu. “kenapa sinta?” “ya pokoknya ada sesuatu, masalah pribadi” *duh
Lalu ku ceritakan bagaimana memaafkan, pentingnya memaafkan bagi mereka dan semua tentang memaafkan yang dapat diterima oleh anak-anak.
Akhirnya, semuanya pun saling bersalaman satu dengan lainnya, kecuali dua anak perempuan itu. “lhoo sinta kenapa nggak mau salaman sama mirna (sinta adalah santri tertua diantara teman-temannya).” Dia berputar-putar menghindariku sambil ketawa-ketawa, ah ini anak. Setelah dibujuk beberapa waktu akhirnya sinta mau bersalaman dengan Mirna. Kamipun pulang. Ku lihat Mirna dan Sinta masih berjalan sendiri-sendiri, acuh tak acuh. Tapi tak berapa lama kemudian, tiba-tiba Sinta mengajak ngobrol Mirna. Masyaallah, indahnya persahabatan ya dek, mba belajar memaafkan dari kalian.
Anak kecil itu, dengan mudahnya ia akan memberi maaf dan meminta maaf. Kenapa? karena mereka tak pernah memposisikan diri dalam perasangka, yang akan mematikan hatinya. Mereka membuat kehidupan dunia penuh dengan keceriaan. Mencari kawan sebanyak-banyaknya. Musuh ada? ada. Mereka kan memang senang membuli teman yang lainnya. Marahan, iya. Tapi, beberapa saat kemudian, kita bisa melihat mereka akur kembali, tak terlihat bekas-bekas kekesalan karena permasalahan sebelumnya. Mereka sudah saling memaafkan secara alamiah. Itu anak kecil, yang belum ngerti ilmu tentang memaafkan, belum ngerti bagaimana penilaian Allah, bagaimana penilaian manusia. Lalu kita? yang sebenarnya sudah sangat mengerti pentingnya meminta maaf dan memaafkan, masih saja bersimpuh dalam prasangka, menenggelamkan diri dalam kebencian dan merasa diri paling benar.
“Maka disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maaf-kanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS. 3:159)
yappss… selalu mengupayakan diri untuk berbuat baik. Kita yang menjadi pelopor untuk berbuat baik… ^^ Siaaappppppppppppp \^_^/

Kamar Cinta Multazam 2
15 November 2014, 22:05 (Last Edited)