Kamis, 31 Oktober 2013

Hakikat Sejati Kebahagiaan Hidup :')

“Berbeda hal nya jika kau punya mata air sendiri di dalam hati. Mata air dalam hati itu konkret. Amat terlihat. Mata air itu menjadi sumber kebahagiaan tak terkita. Bahkan ketika musuh kau mendapat kesenangan, keberuntungan, kau bisa ikut senang atas kabar baiknya, ikut berbahagia, karena hati kau lapang dan dalam. Sementara orang-orang yang hatinya dangkal, sempit, tidak terlatih, bahkan ketika sahabat baiknya mendapat nasib baik, dia dengan segera iri hati dan gelisah. Padahal apa susahnya ikut senang.
“Itulah hakikat sejati kebahagiaan. Ketika kau bisa membuat hati bagai danau dengan sumber mata air sebening air mata. Memperolehnya tidak mudah, kau harus terbiasa dengan kehidupan bersahaja, sederhana dan apa adanya. Kau harus berkerja keras, sungguh-sungguh, dan atas pilihan sendiri memaksa hati kau berlatih.”
Kisah : Danau Para Sufi, Sufi adalah orang-orang yang tidak mencintai dunia dan seisinya. Mereka lebih sibuk memikirkan hal lain. Memikirkan filsafat hidup, makna kehidupan, dan prinsip-prinsip hidup yang agung.
ketika ayahnya bertanya tanya tentang apa hakikat sejati kebahagiaan hidup.
Tidak ada sekelompok sufi yang bisa memberikan jawaban memuaskan.
Menyarankan ia untuk pergi ke lereng gunung, menemui salah satu sufi besar.
Kemudian ayahnya pergi ke tempat tersebut.
Sang guru menyuruhnya membuat sebuah danau.
Pada tahun pertama, masih belum beres karena ketika terkena air hujan, danaunya keruh.
Kemudian memutuskan buat saringan si setiap parit. Taun kedua datang, ketika menusuk dasar danau dengan bambu panjang, airnya keruh lagi.
Sampai akhirnya memutuskan untuk menggali sedalam-dalamnya sampai menyentuh dasar bebatuan. Menyentuh mata airnya.
3 tahun berlalu. Akhirnya hari yang dijanjikan datang juga, sebuah danau yang bagai kristal air mata, tetap bening meski ada yang menusuk-nusuk dasarnya, tetap dengan cepat kembali bening meski ada air dari parit yang bocor dan sejenak membuat keruh.
Itulah, hanya untuk memahami kebijaksanaan hidup.
Itulah hakikat sejati kebahagiaan hidup. Hakikat itu berasal dari hati kau sendiri. Kita tidak akan pernah merasakan kebahagiaan sejati dari kebahagiaan yang datang dari luar hati kita.
Rasa sedih, kehilangan, kabar buruk, nasib buruk, itu semua juga datang dari luar. Saat semua itu datang dan hati kau dangkal, hati kau seeketika keruh berkepanjangan.

31 Oktober 2013, 22:55
                                            Kisah dari Novel Tere-Liye, Ayahku (bukan) Pembohong

Kamis, 10 Oktober 2013

Tugas Ilmu Pendidikan :D



Soal :
Nilai apa yang dikembangkan di keluarga anda?
Bagaimana usaha orangtua anda untuk menanamkan nilai tersebut?
Nilai apa yang sampai sekarang melekat dalam diri anda yang menjadi karakteristik anda?

Dimulai dari peristiwa ketika saya kecil. Suatu kisah hidup yang tidak pernah saya lupakan sampai sekarang. Nilai rela berkorban demi kebahagiaan oranglain. Dalam kisah ini adalah pengorbanan Ibu untukku, tepatnya ketika saya masih TK, dulu saya tergolong orang yang pendiam, tak mudah bergaul, tak mudah membuka suatu percakapan, tak memiliki banyak teman. Dan entah bagaimana, ini juga pertanyaan saya sampai sekarang, kenapa ketika TK dulu banyak sekali yang memusuhi saya, yang tidak suka dengan saya. Sering juga saya menceritakan kepada orang rumah tentang seorang guru TK yang menyebalkan, yang bermuka galak. Itulah dulu yang saya tahu. Cerita tentang Ibu saya yang sempat wiyata bakti di sebuah Madrasah Ibtidaiyah di daerah saya. Sering saya ikut ibu mengajar saat libur TK atau saat pulang lebih awal dari biasanya. Tetapi kembali ke diri saya ketika di sekolah TK saya sangat tidak bisa beradaptasi, dan hanya memiliki sedikit sekali teman, saya mulai tidak betah dengan semua ini, saya merasa iri dengan teman-teman yang diantar oleh orangtua mereka ke sekolah. Dan akhirnya, saya katakan pada Ibu pada saat kami sedang berkumpul dirumah, yang saya ingat ketika itu kami sedang beres-beres rumah, dengan wajah polos dan tanpa dosa, ku katakan “Ibu, dek bintang pengin di anter ibu kalo ke sekolah, pokoknya mending nggak sekolah daripada nggak dianter.”
Ya, hanya itu percakapan yang saya ingat. Entah bagaimana juga, akhirnya Ibu melepaskan tempat ia merintis pekerjaan menjadi seorang guru, demi melihat anaknya menuntut ilmu dengan nyaman tanpa tekanan. Akhirnya setelah itu, saya sudah mulai memiliki keberanian untuk bermain dan mengikuti kegiatan di sekolah TK.
Tetapi, setelah saya beranjak dewasa, saya mulai menyadari kesalahan saya dulu, saya mulai menyesali tindakan itu, tambah lagi banyak kesalahan yang saya perbuat pada orangtua saya, rasanya saya dulu sempat sangat mengecewakannya. Tetapi, sungguh, ini merupakan kisah yang sangat berarti, pembelajaran yang sangat tinggi akan sebuah pengorbanan.
            Selanjutnya yang orangtua tanamkan adalah arti sebuah kejujuran dan kepercayaan, sekecil apapun itu, kejujuran tetaplah nomor satu. Dari kakak saya sampai adik saya, orangtua mengajarkan kepercayaan kepada kami. Salah satunya, kami selalu tahu dimana Ibu menyimpan uang, dan kami diperbolehkan mengambil uang sendiri yang tentunya dengan izin pada Ibu. Dan Ibu tidak pernah mengajarkan kepada kami untuk menagih hutang dalam keluarga, ya karena Ibu tidak pernah memperkenalkan kata hutang kepada kami. Sampai disuatu ketika, miris hati saya mendengar percakapan seorang dengan adik kandungnya sendiri, yang intinya sang kakak menagih hutang Rp 2000 kepada sang adik hanya karena belum dikembalikan saat beli gorengan beberapa hari lalu, hati saya trenyuh mendengarnya, namun saya berfikir, apakah faktor ekonomi yang menyebabkan percakapan ini terjadi, ataukah memang didikan dari kecil kurang ditanamkan kepercayaan oleh kedua orangtua mereka. Hanya bisa berdoa untuk keduanya dan mungkin orang-orang yang sama diluar sana. Dan dari situlah orangtua saya juga mengajarkan kejujuran, andai saja kepercayaan itu tidak pernah dibangun, mungkin kami sering mengambil uang tanpa izin, atau mengambil lebih dari jumlah yang diperbolehkan. Kejujuran. Tak pernah sedikitpun orangtua mengizinkan kami untuk mencontek saat ujian, atau saat apapun itu. Namun bandelnya kami, walaupun orangtua melarang, kami tetap mencontek dengan pembelaan hanya bertanya. Yah apa bedanya. Namun tak pernah ada sesuatupun yang sia-sia. Semua nasehat orangtua yang dulu nampaknya tidak kami gubris, sekarang menjadi penyadaran sendiri pada kami, saya merasakan betapa ruginya kita ketika harus mencontek saat ujian, betapa bodohnya kita melakukan pembodohan pada diri sendiri, teman dan Negara Indonesia ini. Sungguh, inilah yang sampai sekarang menjadi keyakinan dalam diri saya, apapun yang terjadi, itulah usaha maksimal yang saya lakukan. Saya tak pernah lagi ingin mengotori semua proses yang telah saya jalani.
            Demokrasi, ketika mendengar cerita teman saya yang malu dan mempunyai perasaan tidak enak ketika harus menasehati orangtua, saya dengan penuh syukur bahagia telah dilahirkan dan di didik untuk memiliki persahabatan, membangun persahabatan atas nama keluarga. Ya, Ibu Bapak adalah orangtua, saya, adik dan kakak adalah anak, tapi kami sahabat. Kami tak pernah sungkan mengingatkan ketika memang apa yang dilakukan orangtua salah, kami tak pernah malu ketika harus mengeluarkan pendapat kami mengenai suatu permasalahan. Orangtua seringkali menceritakan kepada kami permasalahan yang sedang terjadi. Tetapi ketika permasalahan itu memang besar, saya harus berfikir cukup lama untuk mengambil tindakan, bagaimanapun mereka harus dihargai, kelembutanlah yang akan menghantarkan pada pemecahan masalah yang lebih baik, itu juga lah yang orangtua tanamkan pada kami.
            Sosial, Berbagi dengan sesama. Senang rasanya mendengarkan cerita Ibu yang telah bersedekah pada si A atau si B atau si C , dengan menyisihkan hasil dagangannya atau dengan menyisihkan pemberian dari Bapak ketika gajian atau saat apapun itu. Ibu selalu menceritakan kebahagiaan dan kenyamanannya setelah berbagi dengan sesama. Pernah ku tanyakan, kenapa sedekah kok di omong-omongin? Katanya, itu agar anak-anaknya juga ringan tangan dalam memberi. Karena kita tak pernah hidup seorang diri. Dan itu memang benar adanya. Kalau Bapak biasanya jarang bercerita, namun ia memberikan uang itu kepada yang berhak menerima didepan kami. Itulah yang kami tahu, memberi kepada sesama, meringankan beban sesama, membuat mereka tersenyum penuh syukur. Pelajaran ini yang tak kami lupakan juga sampai sekarang, dalam posisi apapun, entah itu lapang atau sempit, berbagi ya tetap berbagi. Apakah dengan berbagi akan membuat kita miskin? Tidak. Apakah dengan berbagi akan membuat senyum kita hilang karena telah mengurangi sejumlah yang kita miliki? Tidak. Lantas? Malah sebaliknya. Ya, kita semua tahu itu. setelah berbagi rasanya akan semakin bahagia, senyum akan terkembang lebih lebar, dan Allah memang selalu benar, dengan berbagi maka kesehatan pun akan terjaga.
            Masih banyak lagi nilai yang ditanamkan orangtua pada saya, seperti disiplin, kerja keras, menjaga amanah, menjaga kebersihan, mandiri, sederhana, dan dapat menentukan pilihan. Termasuk keyakinan, kedua orangtua saya mengajarkan saya untuk dapat memposisikan diri dengan apa yang akan saya lakukan, apakah sesuatu tersebut baik untuk saya atau tidak. Selanjutnya, ketegasan dan keceriaan pun mereka ajarkan pada saya, semuanya mereka ajarkan melalui aktifitas dan interaksi yang kami lakukan dalam keseharian kami.
            Yang terakhir pertanyaan tentang nilai yang paling melekat yang paling menjadi karakter diri saya, saya rasa semua nilai-nilai diatas telah tertanam dalam diri saya, meskipun terkadang kekhilafan datang, sehingga melakukan sesuatu yang tidak sesuai nilai yang diajarkan, namun akhirnya pun akan kembali menyadari mana yang baik dan mana yang buruk. Namun yang sampai sekarang paling saya sukai karena itu selalu terlihat dalam kehidupan siapapun, yaitu kejujuran. Tetapi, saya sering takut dengan hal ini, saya takut terkadang mencari sebuah pembenaran untuk sebuah kata jujur. Jujur tetaplah jujur. Kata Ibu, tidak ada kata berbohong walaupun untuk kebaikan. Banyak rasanya yang menyanggah kalimat itu, namun aku masih yakin semua masih dapat kita selesaikan dengan sebuah kejujuran.


10 Oktober 2013, 21:24