Cerita
ini, tepat 1 minggu yang lalu (3 November 2014), jadwalku mengajar di TPA,
Tempat Penitipan Anak? wiihh bukan bukan, itu Taman Pendidikan Al-Quran. Itu
lho tempat anak-anak kecil ngaji. Wah rajin banget anak kecil ngaji, zaman
sekarang kan anak-anak pegangannya udah gadget
atau pulang sekolah main Play Station.
Pasti anak-anak TPA itu nurut banget deh sama orangtuanya, beruntung sekali
mereka yang masih mau nurut orangtuanya bakalan jadi keren deh gedenya insyaallah, dan bersyukur sekali
orangtua bisa bujuk anaknya buat rajin berangkat TPA ditengah-tengah anak-anak
lain yang kebanyakan telah dijajah oleh arus globalisasi khususnya kemajuan
teknologi, yah mungkin beberapa dari kalian pasti ada yang berfikir seperti itu
tentang anak-anak TPA.
Yuhuuu…
Kita bahas TPA tempatku ngajar, yok.
Benarkah
anak-anak itu nurut?
Minggu
sebelumnya, aku pun mengajar TPA, berangkat dengan sedikit berat hati karena
memang bukan jadwalku, hehe. Dan akupun pulang ke asrama karena ada hal yang
harus aku garap. Tapi lagi-lagi, masihkah kita bisa menolak pahala kebaikan
yang akan datang? Sayang lho. Oke aku putuskan untuk pergi mengajar karena
memang hal yang akan ku kerjakan masih bisa ditempatkan dilain waktu, pikirku.
Di
tempat TPA.
Baru
datang, disalamin sama anak-anaknya, cium tangan. Beberapa saat kemudian… ‘Pertempuran’
awal dimulai. Riuh ricuh anak-anakpun hadir. Mulai dari yang susah disuruh
masuk gara-gara keluar masjid saat TPA akan dimulai. Menyuruh turun seorang
anak yang manjat (*menaiki) hijab penutup shof laki-laki dan perempuan,
bahannya terbuat dari besi tinggi satu meter lebih dikit, ada juga yang duduk
dimeja. OMG (>.<**)
TPA
pun dibuka. Salam. Sikap berdoa. ‘tangan di tengadahkan, kepala ditundukkan,
berdoa mulai’. Berdoa pun, ustadzah (sapaan hangat santri TPA pada guru
ngajinya) harus tetep memperhatikan anak-anak, seringnya ada yang ngobrol waktu
berdoa, ada juga yang mainan sendiri. Kalo udah gitu, ngapain? rangkul pundak
si anak atau cukup dilihat saja, senyumin tuh anak, baru dituntun berdoa deh.
Anak sebenernya nurut kok sama ustadzahnya.
Selesai berdoa. Materi yang telah ku
siapkan kali ini yaitu tentang CITA-CITA. Sebelumnya, anak-anak diberikan
pertanyaan untuk menentukan urutan ke-berapa ia mengaji. Nah, setelah dapet
urutannya, aku beri mereka kertas kecil. Aku biarkan mereka memilih warna yang
mereka sukai. “bagi yang lagi nggak dapet giliran ngaji, tuliskan cita-cita
kalian dikertas yang tadi sudah di ambil ya, terus gambarkan cita-cita kalian
dibaliknya”. Mereka pun nurut, walau awalnya ada keluhan “aku nggak bisa gambar
ustadzah” dan lain sebagainya, tapi akhirnya mereka mengerjakannya dengan
senang sambil mikir-mikir apa yang akan digambar. Lucu. ^^ Nah, kenapa bahas tentang
cita-cita? Anak-anak memang harus dibangun mimpi-mimpinya sejak dini, punya
orientasi kedepan, sering-sering diingatkan tentang mimpi-mimpinya, bahkan bisa
jadi bahan motivasi ketika sang anak mulai malas belajar. misalnya, “katanya
mau jadi dokter, dokter itu harus pinter lhoo. Kalo nggak pinter nanti salah
kasih resep ke pasien, eh pasiennya malah tambah parah kan bahaya, yang tadinya
pengen bermanfaat buat oranglain tapi malah bikin tambah sakit. yok sekarang
belajar”. Yaps, mengambil hati anak dengan berbagai cara, setidaknya membuat anak
berhenti teriak-teriak gaduh di dalam masjid, itu target awal.
Balik lagi ke hari senin tanggal 3
November, minggu lalu. Dengan segala ngotot-ngotot mereka, akhirnya aku
mengalah. Mereka minta jalan-jalan, padahal baru jumat kemarin mereka
jalan-jalan. Mereka menyebutkan satu persatu jadwal ekstrakulikulernya, yang
akhirnya hanya hari senin yang kosong. Baiklah. Kami jalan-jalan.
Sebelum
perjalanan, aku memperhatikan seorang anak, tak nampak seperti biasanya, hari
itu, dia menjadi seorang pendiam. Padahal biasanya, dia sering ‘memberontak’.
Tapi, ku biarkan dulu dia seperti itu. Perjalanan pun dimulai, di perjalanan ku
ajak anak-anak muroja’ah, tepuk ala TPA dan ku ajarkan mereka tersenyum dan
menyapa pada setiap orang yang lewat. Setelah perjalanan makin jauh, ku dekati
anak yang tadi itu, namanya Mirna. Aku ajak ngborol-ngobrol dan akhirnya dia
memberi statement yang menjawab
pertanyaanku sejak tadi. “Ustadzah, aku pengen minta maaf sama ka Sinta.”,
“emang Mirna salah apa?” tanyaku “eh, nggak jadi nggak jadi ustadzah.” Setelah
kutanyai beberapa kali tapi tidak mau menjawab, akhirnya ku mengalah, tidak
terlalu memaksanya menjawab.
Aku
melirik tempat yang kira-kira bisa buat ngumpul anak-anak TPA ini. Akhirnya aku
ajak mereka ditengah tanah lapang kecil yang rumput-rumputnya sudah lumayan
banyak menyebar, “nggak mau ustadzah, disitu banyak uletnya.” Ku diamkan mereka
yang memprotes, tempat kami berkumpul tetap disitu.
“Ayookk… apa saja yang sudah didapatkan selama perjalanan
kita tadi, kita nggak kan yaa perjalannya terlewatkan sia-sia. Pokoknya
masing-masing harus kasih satu hal yang telah didapatkan dari perjalanan tadi.”
Ku buka forum TPA ini dengan pertanyaan itu.
Setelah mereka semua menjawab, baru aku masuk ke
pertanyaan utamanya.
“Nah
sekarang, Siapa disini yang lagi nggak suka sama orang?”
“Saya
ustadzah, sayaa… sayaa.” Hampir semuanya mengacungkan tangan dan menyebutkan
aku nggak suka sama ini sama itu. Dan menceritakan orang-orangnya, ada temen SD
dan yang lainnya, Sinta pun menjawab “saya juga ada ustadzah.” Ini yang paling
ditunggu-tunggu. “kenapa sinta?” “ya pokoknya ada sesuatu, masalah pribadi”
*duh
Lalu
ku ceritakan bagaimana memaafkan, pentingnya memaafkan bagi mereka dan semua
tentang memaafkan yang dapat diterima oleh anak-anak.
Akhirnya,
semuanya pun saling bersalaman satu dengan lainnya, kecuali dua anak perempuan
itu. “lhoo sinta kenapa nggak mau salaman sama mirna (sinta adalah santri
tertua diantara teman-temannya).” Dia berputar-putar menghindariku sambil
ketawa-ketawa, ah ini anak. Setelah dibujuk beberapa waktu akhirnya sinta mau
bersalaman dengan Mirna. Kamipun pulang. Ku lihat Mirna dan Sinta masih
berjalan sendiri-sendiri, acuh tak acuh. Tapi tak berapa lama kemudian,
tiba-tiba Sinta mengajak ngobrol Mirna. Masyaallah, indahnya persahabatan ya
dek, mba belajar memaafkan dari kalian.
Anak
kecil itu, dengan mudahnya ia akan memberi maaf dan meminta maaf. Kenapa?
karena mereka tak pernah memposisikan diri dalam perasangka, yang akan
mematikan hatinya. Mereka membuat kehidupan dunia penuh dengan keceriaan. Mencari
kawan sebanyak-banyaknya. Musuh ada? ada. Mereka kan memang senang membuli
teman yang lainnya. Marahan, iya. Tapi, beberapa saat kemudian, kita bisa
melihat mereka akur kembali, tak terlihat bekas-bekas kekesalan karena
permasalahan sebelumnya. Mereka sudah saling memaafkan secara alamiah. Itu anak
kecil, yang belum ngerti ilmu tentang memaafkan, belum ngerti bagaimana
penilaian Allah, bagaimana penilaian manusia. Lalu kita? yang sebenarnya sudah
sangat mengerti pentingnya meminta maaf dan memaafkan, masih saja bersimpuh
dalam prasangka, menenggelamkan diri dalam kebencian dan merasa diri paling
benar.
“Maka disebabkan rahmat dari Allahlah
kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras
lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena
itu maaf-kanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah
dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad,
maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertawakkal kepada-Nya.” (QS. 3:159)
yappss… selalu mengupayakan diri untuk
berbuat baik. Kita yang menjadi pelopor untuk berbuat baik… ^^
Siaaappppppppppppp \^_^/
Kamar Cinta Multazam 2
15 November 2014, 22:05 (Last Edited)